Pertama kali berjumpa dengan Rasulullah saw, ia langsung jatuh cinta dan menyerahkan seluruh jiwa raganya; menjadi pendamping beliau. Kemana pun beliau pergi, Rabi'ah bin Ka'ab selalu berada di sampingnya.
Rabi'ah melayani segala keperluan Rasulullah sepanjang hari hingga habis waktu Isya' yang terakhir. Bahkan lebih dari itu, ketika Rasulullah hendak berangkat tidur, tak jarang Rabi'ah mendekam berjaga di depan pintu rumah beliau. Di tengah malam, ketika Nabi SAW bangun untuk melaksanakan shalat, seringkali ia mendengar beliau membaca Al-Fatihah dan ayat-ayat Alquran.
Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah saw, jika seorang berbuat baik kepadanya, maka beliau pasti membalasnya dengan lebih baik lagi. Begitulah, beliau membalas kebaikan Rabi'ah dengan kebaikan pula.
Pada suatu hari beliau memanggilnya seraya berkata, "Wahai Rabi'ah bin Ka'ab, katakanlah permintaanmu, nanti kupenuhi!"
Setelah diam sejenak, Rabi'ah menjawab, "Ya Rasulullah, berilah saya sedikit waktu untuk memikirkan apa sebaiknya yang akan kuminta. Setelah itu, akan kuberitahukan kepada Anda."
"Baiklah kalau begitu," jawab Rasulullah.
Rabi'ah bin Ka'ab adalah seorang pemuda miskin, tidak memiliki keluarga, harta dan tempat tinggal. Ia menetap di Shuffatul Masjid (emper masjid), bersama-sama dengan kawan senasibnya, yaitu orang-orang fakir dari kaum Muslimin. Masyarakat menyebut mereka "dhuyuful Islam" (tamu-tamu) Islam. Bila ada yang memberi hadiah kepada Rasulullah, maka biasanya beliau memberikannya kepada mereka. Rasulullah hanya mengambil sedikit saja.
Dalam hati, Rabi'ah bin Ka'ab ingin meminta kekayaan dunia agar terbebas dari kefakiran. Ia ingin punya harta, istri, dan anak seperti para sahabat yang lain. Namun, hati kecilnya berkata, "Celaka engkau, wahai Rabi'ah bin Ka'ab! Kekayaan dunia akan lenyap. Mengapa engkau tidak meminta kepada Rasulullah agar mendoakan kepada Allah kebajikan akhirat untukmu?"
Hatinya mantap dan merasa lega dengan permintaan seperti itu. Kemudian ia datang kepada Rasulullah dan berkata, "Wahai Rasulullah, saya mohon agar engkau mendoakan kepada Allah agar menjadi temanmu di surga."
Agak lama juga Rasulullah SAW terdiam. Sesudah itu barulah beliau berkata, "Apakah tidak ada lagi permintaamu yang lain?"
"Tidak, ya Rasulullah. Tidak ada lagi permintaan yang melebihi permintaanku," jawab Rabi'ah bin Ka'ab mantap.
"Kalau begitu, bantulah aku dengan dirimu sendiri. Perbanyaklah sujud," kata Rasulullah.
Sejak itu, Rabi'ah bersungguh-sungguh beribadah, agar mendapatkan keuntungan menemani Rasulullah di surga, sebagaimana keuntungannya melayani beliau di dunia. Tidak berapa lama kemudian Rasulullah SAW memanggilnya. "Apakah engkau tidak hendak menikah, hai Rabi'ah?" tanya beliau.
"Saya tak ingin ada sesuatu yang menggangguku dalam berkhidmat kepada Anda, ya Rasulullah. Di samping itu, saya tidak mempunyai apa-apa untuk mahar kawin, dan untuk kelangsungan hidup berumah tangga," jawab Rabi'ah.
Rasulullah diam sejenak. Tidak lama kemudian beliau memanggil Rabi'ah kembali seraya bertanya, "Apakah engkau tidak hendak menikah, ya Rabi'ah?"
Dan Rabi'ah kembali menjawab seperti seperti semula. Hingga ketiga kalinya Rasulullah memanggil dan bertanya serupa. Rabi'ah menjawab, "Tentu, ya Rasulullah. Tetapi, siapakah yang mau kawin denganku, keadaanku seperti yang Anda maklumi."
"Temuilah keluarga Fulan. Katakan kepada mereka bahwa Rasulullah menyuruhmu kalian supaya menikahkan anak perempuan kalian, si Fulanah dengan engkau."
Dengan malu-malu Rabi'ah datang ke rumah mereka dan menyampaikan maksud kedatangannya. Tuan rumah menjawab, "Selamat datang ya Rasulullah, dan dan selamat datang utusan Rasulullah. Demi Allah, utusan Rasulullah tidak boleh pulang, kecuali setelah hajatnya terpenuhi!"
Rabi'ah bin Ka'ab kemudian menikah dengan anak gadis tersebut. Dan Rasulullah juga menghadiahkan sebidang kebun kepadanya, berbatasan dengan kebun Abu Bakar Ash-Shiddiq. Suatu ketika, Rabi'ah sempat berselisih dengan Abu Bakar mengenai sebatang pohon kurma. Rabi'ah mengaku pohon kurma itu miliknya, sementara Abu Bakar juga mengakui hal yang sama.
Ketika perselisihan memanas, Abu Bakar sempat mengucapkan kata-kata yang tak pantas didengar. Setelah sadar atas ketelanjurannya mengucapkan kata-kata tersebut, Abu Bakar menyesal dan berkata kepada Rabi'ah, "Hai Rabi'ah, ucapkan pula kata-kata seperti yang kulontarkan kepadamu, sebagai hukuman (qishash) bagiku!"
Rabi'ah menjawab, "Tidak! Aku tidak akan mengucapkannya!"
"Akan kuadukan kamu kepada Rasulullah, kalau engkau tidak mau mengucapkannya!" kata Abu Bakar, lalu pergi menemui Rasulullah SAW.
Rabi'ah mengikutinya dari belakang. Kerabat Rab'iah dari Bani Aslam berkumpul dan mencela sikapnya. "Bukankah dia yang memakimu terlebih dahulu? Kemudian dia pula yang mengadukanmu kepada Rasulullah?" kata mereka.
Rabi'ah menjawab, "Celaka kalian! Tidak tahukah kalian siapa dia? Itulah "Ash-Shiddiq", sahabat terdekat Rasulullah dan orang tua kaum Muslimin. Pergilah kalian segera sebelum dia melihat kalian ramai-ramai di sini. Aku khawatir kalau-kalau dia menyangka kalian hendak membantuku dalam masalah ini sehingga dia menjadi marah. Lalu dalam kemarahannya dia datang mengadu kepada Rasulullah. Rasulullah pun akan marah karena kemarahan Abu Bakar. Kemarahan mereka berdua adalah kemarahan Allah. Akhirnya, aku yang celaka?"
Mendengar kata-kata Rabi'ah, mereka pun pergi. Abu Bakar bertemu dengan Rasululah SAW dan menuturkan apa yang terjadi. Rasulullah mengangkat kepala seraya bertanya pada Rabi'ah, "Apa yang terjadi antara kau dengan Ash-Shiddiq?"
"Ya Rasulullah, beliau menghendakiku mengucapkan kata-kata makian kepadanya, seperti yang diucapkannya kepadaku. Tetapi, aku tidak mau mengatakannya," jawab Rabi'ah.
Kata Rasulullah, "Bagus! Jangan ucapkan kata-kata itu. Tetapi katakanlah, semoga Allah mengampuni Abu Bakar!"
Rabi'ah pun mengucapkan kata-kata itu. Mendengar kata-kata Rabi'ah, Abu bakar pergi dengan air mata berlinang, sambil berucap, "Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, wahai Rabi'ah." Mereka pun hidup rukun kembali.
Comments
Post a Comment